Mohammad Danial Royyan
oleh Mohammad Danial Royyan
Waktu baca 4 menit

Katagori

Grup

Oleh : H. Mohammad Danial Royan, Rois Syuriah PCNU Kendal

I. PENDAHULUAN

Seorang muslim yang menganut madzhab Syafi’i pasti terdesak untuk berpindah ke madzhab Hanafi ketika melakukan thawaf dalam ibadah umrah atau haji. Hal itu dikarenakan adanya kondisi berdesakan para pelaku thawaf yang menyebabkan persinggungan kulit antara lelaki dan perempuan, yang membatalkan wudlu’ menurut madzhab Syafi’i, tetapi tidak membatalkan wudlu’ menurut madzhab Hanafi. Dengan latar belakang masalah seperti itu, maka bagi orang yang akan pergi haji atau umrah harus mengetahui perbandingan lima madzhab fiqih tentang wudlu’.

II KEWAJIBAN-KEWAJIBAN WUDLU’ (FARA’IDLUL WUDLU’)

1. NIAT

Semua imam dari lima madzhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) bersepakat bahwa niat adalah wajib di dalam wudlu’, dan tempat pelaksanaannya adalah ketika membasuh muka .

Ada sedikit perbedaan dari madzhab Hanafi, yaitu apabila ada seseorang mandi dengan mengalirkan air ke seluruh tubuh termasuk anggota wudlu’ kemudian melakukan shalat maka shalatnya sah.

2. MEMBASUH MUKA (WAJAH)

Semua imam madzhab sepakat tentang kewajiban membasuh wajah di dalam wudlu’. Ada perbedaan mengenai batas-batas wajah di antara mereka.

Menurut madzhab Syafi’i, wajib membasuh bawah dagu.

Menurut Ja’fari dan Maliki, batas lebar wajah adalah bagian yang terjangkau ibu jari dan jari telunjuk.

Sedangkan menurut madzhab-madzhab lain, batas lebar wajah adalah dari daun telinga kanan sampai ke daun telinga kiri.

3. MEMBASUH KEDUA TANGAN

Semua madzhab sepakat bahwa membasuh kedua tangan beserta sikunya itu wajib. Menurut Ja’fari dalam membasuh kedua tangan wajib dimulai dari sikunya. Menurut madzhab-madzhab lainnya boleh memulai dengan cara bagaimanapun.

4. MENGUSAP KEPALA

Menurut Hanbali, wajib mengusap seluruh kepala hingga kedua telinga. Menurut Maliki, wajib mengusap seluruh kepala tanpa kedua telinga. Menurut Hanafi, wajib mengusap seperempat kepala. Sedangkan menurut Syafi’i, wajib mengusap sebagian kepala.

5. MEMBASUH KEDUA KAKI

Menurut empat madzhab, wajib membasuh kedua kaki beserta kedua tumitnya. Menurut Ja’fari, wajib mengusap kedua telapak kaki dari ujung jari hingga tumit.

III. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDLU’ (NAWAQIDLUL WUDLU’)

1. KELUAR SESUATU DARI QUBUL DAN DUBUR

Semua madzhab sepakat bahwa keluarnya kencing, berak dan kentut dari qubul dan dubur membatalkan wudlu’.

Keluarnya singgat, kerikil, darah dan nanah membatalkan wudlu menurut Syafi’i, Hanafi dan Hanbali, tetapi menurut Maliki tidak membatalkan wudlu’. Dan menurut Ja’fari, tidak membatalkan wudlu’ kecuali apabila singgat dan kerikil itu berlumuran darah.

2. MADZI DAN WADI

Keluarnya madzi dan wadi membatalkan wudlu’ menurut madzhab empat, tetapi tidak membatalkan wudlu’ menurut madzhab Ja’fari.

3. HILANG AKAL

Hilangnya akal akibat mabuk, gila, halusinasi (ayan) dan shock membatalkan wudlu’ menurut semua madzhab.

Tidur membatalkan wudlu’ menurut Ja’fari apabila menghilangkan kepekaan hati, pendengaran dan penglihatan, sehingga tidak dapat mendengar suara orang banyak.

Menurut Hanafi, orang yang telah berwudlu’ kemudian tidur miring maka batal wudlu’nya, tetapi apabila tidur dalam keadaan berdiri, ruku’ atau sujud tidak batal wudlu’n ya. Dan tidur ketika sedang shalat juga tidak membatalkan wudlu’.

Menurut Syafi’i, tidur dalam keadaan duduk dengan kedua pantat yang menempel pada alas (tamkinul maq’adah) tidak membatalkan wudlu’. Menurut Maliki, tidur pulas membatalkan wudlu’. Sedangkan tidur ringan tidak membatalkan wudlu’.

4. KELUAR AIR MANI

Keluarnya air mani membatalkan wudlu’ menurut Hanafi, Hanbali dan Maliki. Tetapi menurut Syafi’i tidak membatalkan wudlu’. Dan menurut Ja’fari, keluarnya air mani itu tidak mewajibkan wudlu’ tetapi mewajibkan mandi.

5. PERSINGGUNGAN KULIT LAWAN JENIS (AL-LAMSU)

Menurut Syafi’i, orang yang telah berwudlu’ menyenggol wanita lain bukan mahram tanpa penghalang itu batal wudlu’nya, tetapi kalau wanita mahram tidak batal wudlu’nya.

Menurut Hanafi, menyenggol wanita lain bukan mahram tanpa penghalang itu tidak membatalkan wudlu’, karena yang membatalkan wudlu’ adalah persenggamaan (hubungan sex) antara pria dan wanita.

Menurut Ja’fari, menyenggol wanita lain bukan mahram tanpa penghalang itu tidak membatalkan wudlu’ sama seperti pendapat Hanafi.

Memegang alat vital (massul farji) tanpa penghalang tidak membatalkan wudlu’ menurut Hanafi dan Ja’fari.

Sedangkan menurut Syafi’i massul farji dengan telapak tangan bagian dalam itu membatalkan wudlu’.

Menurut Hanbali massul farji secara mutlak baik dengan telapak tangan bagian dalam atau telapak tangan bagian luar membatalkan wudlu’.

Sedangkan menurut Maliki, massul farji itu membatalkan wudlu’ apabila menggunakan telapak tangan bagian dalam, dan tidak membatalkan wudlu’ dengan telapak tangan bagian luar.

6. MUNTAH-MUNTAH

Muntah-muntah itu membatalkan wudlu’ secara mutlak menurut Hanbali. Menurut Hanafi membatalkan wudlu’ apabila mulut penuh dengan muntahan. Dan muntah-muntah itu tidak membatalkan wudlu’ menurut Syafi’i, Ja’fari dan Maliki.

7. DARAH DAN NANAH

Darah dan nanah tidak membatalkan wudlu’ menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari. Tetapi membatalkan wudlu’ menurut Hanafi. Sedangkan menurut Hanbali, apabila darah dan nanah itu banyak maka membatalkan wudlu’ dan apabila sedikit tidak membatalkan wudlu’.

8. TERTAWA

Tertawa terbahak-bahak itu membatalkan shalat secara ijma’.

Tertawa itu tidak membatalkan wudlu’ menurut Hanafi, tetapi terbahak-bahak di tengah-tengah shalat membatalkan wudlu’. Dan kalau terbahak-bahak di luar shalat tidak membatalkan wudlu’.

9. MAKAN DAGING UNTA

Makan daging unta itu membatalkan wudlu’ khusus menurut Hanbali.

10. DARAH ISTIHADLAH

Menurut Ja’fari, keluarnya darah istihadlah itu mewajibkan wudlu’ apabila sedikit, dan mewajibkan mandi apabila banyak.

IV. REFERENSI (MA’KHADZ)

  1. Al-Fiqhul Islami karangan Syekh Wahbah Al-Zuhaili
  2. Al-Fiqhu Alal Madzahib Al-Arba’ah karangan Syekh Abdurrahman Al-Juzairi
  3. Al-Fiqhu Alal Madzahib Al-Khamsah karangan Syekh Muhammad Jawad Mughniyah
  4. Al-Fiqhu Alal Madzahib Al-Khamsah karangan Syekh Muhammad As-Suwaid

artikel ini telah dipublikasikan di pcnukendal.id