Oleh : Mohammad Danial Royyan, Ketua Tanfidziyah PCNU Kendal
I. MUQADDIMAH
Peranan imam dan khathib dalam penyelenggaraan shalat jum’ah dan shalat jama’ah yang lain menjadi sangat penting, karena kedua jabatan tersebut merupakan bagian yang menjadikan jama’ah menjadi sah dan sempurna. Jama’ah memiliki hikmah yang besar, karena orang yang shalatnya kurang sempurna, apabila dia berjama’ah maka shalatnya bisa berubah menjadi sah.
Oleh karena itu, orang yang akan menjadi imam dan khathib haruslah orang yang mengetahui syarat rukun shalat dan mengetahui juga tatacara berjama’ah, di samping memenuhi persyaratan menjadi imam dan khathib. Sementara dalam kenyataan di lapangan masih banyak ditemukan seorang yang menjadi imam tetapi bacaan fatihahnya belum benar dan belum fasih, dan masih banyak pula ditemukan seorang yang menjadi khathib dalam jum’ah, tetapi dia belum mengetahui syarat rukun khuthbah, belum dapat membedakan antara khuthbah dan pidato atau ceramah.
Uraian di atas, menggambarkan karakteristik atau sifat-sifat imam dan khathib yang bersifat teknis atau bersifat kaifiyat. Ada hal-hal lain yang harus dipenuhi oleh orang yang menjadi imam dan khathib selain kaifiyat, yaitu harus memiliki akhlakul karimah dan keteladanan bagi segenap makmumnya. Tidaklah pantas seorang yang menjadi imam atau khathib berkata tidak senonoh atau kotor di luar shalat, atau berpakaian yang tidak mencerminkan kesopanan baik di dalam shalat atau di luar shalat kecuali dalam keadaan tertentu yang membolehkannya, seperti ketika bekerja, tidur dan sebagainya.
II. KEWENANGAN MEMILIH IMAM DAN KHATHIB
Imam Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkamus Sulthaniyah1 membagi imamah menjadi tiga bagian:
- Imamah dalam shalat lima waktu
- Imamah dalam shalat jum’ah
- Imamah dalam shalat-shalat sunnah.
Selanjutnya masjid ada dua : masjid negara dan masjid umum. Maka menurut Imam Mawardi, jabatan imam di masjid negara haruslah berdasarkan penunjukan oleh Sulthan (pemerintah). Dan orang yang ditunjuk oleh Sulthan adalah orang yang paling berhak menjadi imam dibanding orang lain. Dan jika imam yang utama berhalangan hadir, maka dapat digantikan oleh orang lain yang memperoleh izin dari Sulthan atau disetujui oleh orang banyak. Sedangkan jabatan imam di masjid umum maka tidak harus berdasarkan penunjukan sulthan, tetapi berdasarkan kesepakatan orang banyak.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Imam Izzuddin bin Abdissalam dulu menjadi imam utama di masjid jami’ Herat, Damaskus dan Mesir karena ditunjuk oleh Sulthan dan Khalifah pada waktu itu. Oleh karena itu, pemimpin sebuah negara atau pemimpin daerah memiliki kewenangan menunjuk imam dan khathib.
III. IMAMAH DAN IMAM
A. PENGERTIAN IMAMAH DAN IMAM
Imamah adalah sifat kepemimpinan yang disandang oleh imam, imamah ada dua:
- Imamah Kubro
- Imamah Shughro
Imamah Kubro adalah kepemimpinan yang menjadikan sang Imam memiliki tasharruf ‘amm (kewenangan penuh) atas seluruh makhluk di sebuah negara.
Imamah Kubro dapat diartikan sebagai kepemimpinan dalam kenegaraan atau pemerintahan. Dan orang yang termasuk dalam pengertian ini adalah : Khalifah, Sulthan, Presiden, Raja, Ratu, Kaisar, Yang dipertuan Agung dan sebagainya.
Imam Mawardi mengatakan\( ^2 \):
الامامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا
Artinya : Imamah itu dibuat untuk mewakili kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Sedangkan yang dimaksud dengan Imamah Shugro ialah kepemimpinan dalam jamaah shalat, yaitu keterikatan antara shalat orang yang menjadi makmum dengan shalat imam.
B. SYARAT-SYARAT MENJADI IMAM
Syarat-syarat orang yang dapat menjadi imam dalam jama’ah shalat di antaranya:
- Islam. Orang kafir tidak boleh menjadi imam, demikian juga orang yang diragukan keislamannya tidak boleh menjadi imam menurut sebagian ulama madzhab.
- Aqil. Orang gila secara permanen (terus menerus) tidak boleh menjadi imam samasekali. Orang gila secara temporer (kadang-kadang) boleh menjadi imam ketika sedang tidah kambuh penyakit gilanya.
- Baligh. Anak yang sudah mumayyiz tetapi belum baligh tidak boleh menjadi imam meskipun bacaan fatifahnya fasih, kecuali ada dua orang : yang satu mumayyiz yang bacaannya baik, satunya lagi orang dewasa yang tidak mampu membaca fatihah, maka mumayyiz boleh menjadi imam.
- Lelaki. Banci dan perempuan tidak boleh menjadi imam bagi makmum laki-laki. Tetapi boleh menjadi imam apabila makmumnya banci atau perempuan.
- Suci dari hadats dan najis. Apabila imam berhadats atau terkena najis maka batallah shalat seluruh makmum apabila dia mengetahui, dan wajib i’adah shalat.
- Dapat membaca dan melakukan rukun shalat. Orang yang tidak dapat membaca fatihah tidak boleh menjadi imam bagi orang yang dapat membaca fatihah, bila hal itu terjadi maka shalat makmun wajib diulang. Demikian juga orang bisu tidak boleh menjadi imam meskipun makmumnya sesama bisu. Demikian juga orang yang karena sakit tidak dapat melakukan sujud, ruku’ dan menghadap qiblat tidak boleh menjadi imam kecuali bagi makmum yang punya kelemahan yang sama.
- Bukan makmum. Tidak boleh bermakmum kepada makmum. Imam haruslah tunggal. Makmum masbuq boleh dimakmumi apabila imam utama telah salam.
C. PERINGKAT ORANG-ORANG YANG BERHAK MENJADI IMAM
Menurut madzhab Syafi’i, orang yang berhak menjadi imam sebagai berikut\( ^3 \):
- Wali atau penguasa, dia lebih berhak menjadi imam dari pada ahli fiqih dan imam ratib.
- Imam ratib, yaitu kiai yang paling dituakan di tempat itu, dia lebih berhak menjadi imam daripada ahli fiqih dan ahli qira’ah yang berasal dari luar daerah itu.
- Ahli fiqih, yaitu orang yang menguasai hukum fiqih dalam Islam terutama yang menyangkut fiqih shalat, sehingga jika terjadi permasalahan dalam jama’ah shalat dia dapat mengatasi. Misal:
- Imam jum’ah yang lupa membaca fatihah, setelah selesai jama’ah akan mengulang jum’ahnya maka juga harus mengulang khuthbahnya.
- Imam yang lupa tidak melakukan tahiyyat awal diingatkan oleh makmum tetapi sudah terlanjur berdiri tidak boleh duduk kembali untuk tahiyyat awal karena hal itu justru membatalkan shalat, dan lain sebagainya.
- Ahli qira’ah, yaitu orang yang baca’an qur’annya terutama fatihahnya benar dan fashih. Orang yang bacaan fatihahnya salah karena sering menghilangkan tasydid, memanjangkan baca’an pendek atau memendekkan baca’an panjang atau membaca huruf tidak sesuai dengan makhraj dan sifat huruf atau menghilangkan huruf, tidak berhak menjadi imam.
- Orang yang wira’i, yaitu orang yang menjaga dirinya dari hal-hal yang haram, yang makruh dan yang tidak pantas. Orang yang setiap harinya melakukan hal yang haram atau makruh tahrim atau sangat tidak pantas bagi seorang pemimpin maka tidak berhak menjadi imam.
- Paling dituakan, yaitu orang yang paling dahulu masuk islam, atau orang yang paling tua umurnya, atau orang yang paling ditokohkan. Anak lelaki belum baligh tidak berhak menjadi imam jama’ah jum’ah atau jama’ah di masjid jami’. Dia boleh menjadi imam apabila makmumnya tidak fasih baca’an fatihahnya.
- Paling tinggi nasabnya. Orang yang memiliki garis keturunan dengan nabi, dengan auliya dan dengan ulama, lebih berhak menjadi imam dari pada orang yang tidak jelas garis nasabnya.
- Paling baik akhlaqnya. Imam adalah panutan bagi orang banyak di dalam shalat dan di luar shalat, maka orang yang paling baik akhlaknya adalah yang paling berhak menjadi imam karena dia sebagai panutan orang banyak.
- Paling bersih pakaiannya. Pakaian itu mencerminkan kepemimpinan, maka orang yang paling bersih dan paling sopan pakaiannya adalah yang berhak menjadi imam. Imam jama’ah tidak patut memakai pakaian batik, memakai baju lengan pendek, memakai kaos atau segala bentuk pakaian yang tidak mencerminkan keimaman. Dan imam lebih baik memakai surban dan mengenakan rida’ untuk kewibawaan jama’ah shalat.
- Paling bagus suaranya. Orang yang bagus suaranya lebih berhak menjadi imam daripada orang yang buruk suaranya. Maka orang yang tua renta yang sudah tanggal seluruh giginya sehingga baca’annya tidak dapat difahami jangan menjadi imam.
- Paling tampan wajahnya. Orang yang punya wajah menarik lebih berhak menjadi imam karena akan menarik simpati orang banyak.
- Sudah menikah. Memiliki istri adalah kehormatan bagi seorang lelaki, oleh karena itu orang yang beristri lebih memiliki kehormatan maka dia lebih berhak menjadi imam.
Apabila kriteria-kriteria tersebut di atas ada pada banyak orang secara merata, maka untuk menentukan siapa yang paling berhak menjadi imam, dilakukan undian di antara mereka. Orang yang adil lebih berhak daripada orang fasiq. Orang baligh lebih berhak daripada anak kecil. Pribumi lebih berhak daripada pendatang. Orang buta memiliki hak yang sama dengan orang yang dapat melihat.
D. SUNNAH-SUNNAH BAGI IMAM JUM’AH
1. Sebelum jama’ah dimulai, imam mengontrol barisan jama’ah dengan mengucapkan:
سووا صفوفكم فان تسوية الصفوف من اقامة الصلاة atau استووا استووا استووا
2. Disunnahkan bagi Imam Jum’ah pada raka’at pertama sesudah fatihah membaca surat Al-Jumu’ah dan pada raka’at kedua membaca surat Al-Munafiqun. Atau pada raka’at pertama membaca surat Al-A’la dan pada raka’at kedua membaca surat Al-Ghasyiyah\( ^4 \).
3. Disunnahkan bagi imam jum’ah mengenakan pakaian putih dan bersih.
4. Disunnahkan bacaan “Aamiin” imam dan makmum berbarengan.
5. Disunnahkan mengenakan rida’ dan surban
6. Sesudah salam dari jama’ah jum’ah membaca Musabba’at, yaitu Al-Fatihah 7 kali, Al-Ikhlas 7 kali, Al-Falaq 7 kali dan An-Naas 7 kali, kemudian membaca doa\( ^5 \):
اللهم يا غني يا حميد ، يا مبدئ يا معيد ، يا رحيم يا ودود ، أغنني بحلالك عن حرامك ، وبفضلك عمن سواك ، وبطاعتك عن معصيتك ، 4 كالي
E. ORANG-ORANG YANG MAKRUH MENJADI IMAM
Orang-orang yang dimakruhkan menjadi imam ialah\( ^6 \):
1. Fasiq. Orang fasiq ialah orang yang masih gemar melakukan dosa. Orang fasiq meskipun alim dimakruhkan menjadi imam, seperti : peminum, peselingkuh, pemakan riba, pengadu domba, orang yang riya’, orang yang menuntut bayaran dalam imamahnya, dan sebagainya.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : لا يؤمّنّ فاجر مؤمنا الا ان يقهره سلطان يخاف سيفه او سوطه
Artinya : Janganlah orang lacur menjadi imam bagi orang mukmin kecuali dipaksa oleh penguasa yang ditakuti pedangnya atau cemetinya.
2. Pelaku bid’ah. Yang dimaksudkan adalah bid’ah yang tidak menyebabkan kekafiran, karena yang ini membatalkan jama’ah shalat. Tetapi yang dimaksud adalah bid’ah yang menyimpang dari sunnah Rasul tetapi tidak menyebabkan kekafiran.
3. Orang yang dibenci oleh kaumnya.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا يقبل الله صلاة من تقدم قوما وهم له كارهون
Artinya : Rasulullah SAW bersabda : Allah tidak akan menerima shalatnya orang yang menjadi imam bagi kaum tetapi kaum itu membencinya.
4. Imam berada di tempat yang lebih tinggi, lebih satu hasta di atas tempat makmum.
5. Imam yang lidahnya cidal, sehingga bacaannya tidak jelas.
6. Imam yang banyak waswasnya, jika masih ada yang tidak waswas.
7. Anak zina, jika masih ada orang lain yang bukan anak zina.
IV. KHUTHBAH DAN KHATHIB
A. KHUTHBAH SEBAGAI SYARAT JUM’AH
Semua fuqaha’ bersepakat bahwa khuthbah merupakan syarat mutlak bagi sahnya jum’ah. Jama’ah jum’ah tidak akan sah apabila tanpa khuthbah. Khuthbah jum’ah itu dulunya dilaksanakan sesudah shalat jum’ah sebagaimana shalat idul fithri, idul adha, shala khusuf, shalat kusuh dan shala istisqa’, tetapi ketika suatu saat Nabi berkhuthbah jum’ah seluruh makmum meninggalkannya sendirian, maka turunlah surat Al-Jumu’ah yang memerintahkan agar khuthbah jum’ah didahulukan, sehingga berbeda dengan shalat-shalat lain yang disertai khuthbah.
B. RUKUN KHUTHBAH
Menurut madzhab Syafi’i, khuthbah jum’ah memiliki rukun-rukun sebagai berikut\( ^7 \):
- Memuji Allah dengan membaca
الحمد لله
, bacaan ini dilakukan di khuthbah pertama dan khuthbah kedua, dan menggunakan bahasa Arab. - Membaca shalawat kepada Rasulullah SAW, juga dibaca di khtuhbah pertama dan khuthbah kedua, dan menggunakan bahasa Arab.
- Washiyat Taqwa, juga dilakukan di khuthbah pertama dan khuthbah kedua dan menggunakan bahasa Arab.
- Membaca ayat Al-Qur’an yang dapat difahami, di salah satu dua khuthbah.
- Mendoakan mukminin mukminat yang berkaitan dengan akhirat, di khuthbah yang kedua.
Rukun-rukun khuthbah di atas harus dibaca dalam bahasa Arab karena alasan khuruj minal khilaf (menghindari perbedaan pendapat) antara Fuqaha’, karena pendapat yang kuat bahwa khuthbah itu harus menggunakan bahasa Arab.
C. SYARAT KHUTHBAH
Menurut madzhab Syafi’i, khuthbah jum’ah memiliki syarat-syarat sebagai berikut\( ^8 \):
- Khuthbah jum’ah dilakukan sebelum shalat jum’ah.
- Khuthbah jum’ah tidak boleh diabaikan, atau tidak didengarkan
- Khuthbah jum’ah harus dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan untuk khuthbah
- Khuthbah jum’ah harus dibaca dalam bahasa Arab. Sebagian ulama membolehkan dengan bahasa bukan Arab, dan untuk itu rukun-rukun khuthbah haruslah dengan bahasa Arab
- Khuthbah jum’ah harus dilakukan di dalam waktu shalat jum’ah
- Khathib melakukan duduk antara dua khuthbah dengan tumakninah
- Suara khathib harus keras sehingga didengarkan secara nyata oleh 40 orang
- Harus ada muwaalah (kesinambungan) antara kalimah-kalimah khuthbah
- Harus ada muwaalah (kesinambungan) antara dua khuthbah dan shalat jum’ah, tidak boleh terpisah oleh waktu yang lamanya menyamai lamanya dua raka’at shalat.
- Khathib harus suci dari hadats kecil dan besar, suci badan, pakaian dan tempatnya.
- Khathib harus menutupi aurat
- Khuthbah harus dilaksanakan di tempat yang sah untuk digunakan shalat jum’ah
- Khathib haruslah orang yang berjenis kelamin lelaki
- Khathib haruslah orang yang sah menjadi imam
- Rukun khuthbah yang sifatnya wajib itu tidak boleh dianngap sunnah.
Sebaiknya orang yang menjadi Khathib juga sekaligus menjadi Imam, dan hal itu tidak wajib, akan tetapi imam itu harus mengetahui isi khuthbah.
D. SUNNAH-SUNNAH KHUTHBAH
- Khathib berada di atas minbar, karena mengikuti Rasulullah SAW yang berada di atas minbar ketika khuthbah. Jika tidak ada minbar maka supaya di atas tempat yang tinggi agar suara khathib lebih dapat didengarkan oleh jama’ah.
- Duduk di atas minbar sebelum kuthbah dimulai, sesuai hadits riwayat Ibnu Umar
- Khathib menghadap ke arah jama’ah, dan tidak menoleh ke kanan atau ke kiri
- Khathib mengucapkan salam kepada jama’ah sesudah menaiki minbar
- Mu’adzdzin melantunkan adzan terlebih dahulu sebelum khuthbah dimulai
- Khathib mengulang bacaan
الحمد لله
dua kali. - Khathib mengeraskan suaranya
- Tangan kiri khathib berpegangan pada tongkat, pedang atau tombak, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
- Khuthbah disunnahkan yang pendek, tidak panjang. Dan khuthbah kedua disunnahkan lebih pendek daripada khuthbah pertama.
- Jama’ah jum’ah supaya mendengarkan khuthbah
- Tarqiyah (mbilali) untuk mengiringi khathib menaiki minbar hukumnya bid’ah hasanah (baik untuk dilakukan) menurut madzhab Syafi’i.
- Ketika khathib sedang berkhuthbah, orang yang baru memasuki masjid disunnahkan melakukan sholat sunnah tahiyyatil masjid
- Ketika khathib selesai melakukan khuthbah agar segera turun dari minbar, supaya syarat muwaalah antara khuthbah dan shalat jum’ah dapat terpenuhi.
V. PENUTUP
Demikian tulisan ini saya sampaikan, semoga bermanfaat bagi segenap imam dan khathib dalam menjalankan wadhifahnya sebagai imam di dalam shalat juga imam di luar shalat, dan sebagai khathib yang meneruskan peran yang pernah dilakukan Rasulullah SAW, Aamiin
VI. KEPUSTAKAAN
- Al-Ahkamus Sulthaniyah hal 100
- Al-Ahkamus Sulthaniyyah halaman 5
- Al-Fiqhul Islami halaman 1203-1204
- Busyrol Karim halaman 9 juz 2
- Busyrol Karim halaman 9 juz 2, dan Bughyatul Mustarsyidin halaman 84
- Al-Fiqhul Islami halaman 1205-1209
- Al-Fiqhul Islami halaman 1306
- Al-Fiqhul Islami halaman 1307