Oleh: Mohammad Danial Royyan
I. Umar Bin Abdul Aziz
Dia adalah putra Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam dari Bani Umayyah. Ibunya bernama Ummu Ashim Laila binti Ashim bin Umar bin Khotthob RA. Sifat-sifat kepemimpinan dan keadilannya diwarisi dari kakeknya, Umar bin Khotthob. Dia lahir pada tahun 61 H dan wafat pada tahun 101 H.
Jabatan khalifah selama dua tahun empat bulan yang diembannya dengan keadilan dan kejujuran dapat menjadikan tingkat ekonomi negara naik melesat tinggi hingga orang-orang kaya kebingungan ketika akan membayar zakat karena tidak ada fakir miskin yang mau menerima zakat.
Kondisi ekonomi yang stabil itu juga diimbangi dengan kondisi keamanan negara dan kerukunan rakyatnya. Hal itu menjadikan dia dicintai rakyatnya, hingga pada saat iedul fithri mayoritas ulama dan berbagai lapisan masyarakat bersilaturrahim kepadanya untuk menyampaikan Tahniah Ied.
Tradisi Tahni’ah di Iedul Fithri, Umar Bin Abdul Aziz Yang Memulainya
Tahni’ah Ied atau ucapan selamat hari raya memang berawal dari para sahabat Nabi SAW yang setiap ada hari raya iedul fitri satu sama lain saling mengucapkan selamat hari raya dengan ungkapan “Taqabbalallhu Minna Waminka,” sebagaimana riwayat di bawah ini:
عن جبير بن نفير قال: كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد، يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منا ومنك . قال الإمام أحمد: إسناده جيد، وحسن الحافظ ابن حجر إسناده في فتح الباري(2/517)
Dari Jubair bin Nufair, berkata : “Para sahabat Nabi SAW setiap hari raya ied satu sama lain selalu mengucapkan Taqabbalallohu Minna Waminka (semoga Alloh menerima ibadah puasa dari kami dan darimu)”. Imam Ahmad berkata : Isnad hadis ini bagus, demikian juga Imam Ibn Hajar Al- Asqalani dalam Fathul Bari Juz II halaman 517.
Tetapi tahniah ied yang terjadi pada era sahabat itu belum membudaya dan hal itu merupakan embrio bagi tahniah Ied yang bersifat massif dan membudaya secara Islami pada era kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Di dalam kitab Ikhbarul Muhtadin hal 46, disebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang memulai adanya budaya Taniah Iedil Fithri dengan kalimat “Taqabbalalloh Minna Wa Minkum”.
اخرج ابن عساكر عن ابراهيم بن ابي عبلة قال دخلنا على عمر بن العزيز يوم العيد والناس يسلمون عليه ويقولون تقبل الله منا ومنك يا امير المؤمنين فيرد عليهم ولا ينكر عليهم. وهذا الاثر دليل على ان تهنئة العيد حسنة غير منكرة
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibrahim bin Abi Ablah yang mengatakan: “Kami pada hari raya bertamu kepada Umar bin Abdul Aziz dan banyak orang yang bersalam kepadanya dengan ungkapan ‘Taqabbalallohu Minna Waminka Ya Amiral Mukminin
’. Maka Umar menjawab salam mereka (dengan ungkapan yang sama) dan tidak menyalahkan mereka.”
Cerita ini menjadi dalil bahwa tahniah ied itu hal yang baik bukan hal yang buruk.
Setelah meninggalnya Umar bin Abdul Aziz, silaturrahim untuk mengucapkan tahniah ied itu ditirukan ulama dan masyarakat muslim generasi berikutnya, sehingga menjadi budaya Islam yang dilestarikan oleh ummat Islam sepanjang masa yang lebih dari seribu tahun. Ucapan selamat hari raya dengan ungkapan “Taqabbalallohu Minna Waminkum” pada sekitar tahun 1000 hijriyah berkembang sesuai perkembangan budaya kaum muslimin, sehingga menjadi lebih panjang, yaitu :
تقبل الله منا ومنكم وجعلنا واياكم من العائدين والفائزين
Tetapi di kemudian hari ungkapan itu menjadi ringkas dengan mengambil bagian belakang saja dan menjadi : “Minal Aidin Wal Faizin”, untuk memudahkan masyarakat umum dalam mengucapkannya.
Ucapan selamat hari raya iedul fitri memiliki faedah yang sangat besar, yaitu dapat menanamkan rasa cinta dalam hati manusia terhadap sesamanya dan dapat menciptakan soliditas dan solidaritas masyarakat. Oleh karena itu, disunahkan ketika berangkat shalat iedul fitri dan pulangnya menggunakan jalan yang berbeda agar dapat menyampaikan ucapan selamat hari raya iedul fitri kepada muslimin dalam jumlah yang lebih banyak.
II. Budaya Silaturrahim
Kunjungan dan silaturrahim kepada keluarga dan kerabat itu disunnahkan pada setiap waktu. Tetapi menjadi sunnah muakkad jika kunjungan dan silaturrahim dilakukan pada hari raya iedul fitri, iedul adha atau hari Islam lain yang penting. Terutama kunjungan dan silaturrahim kepada kedua orangtua, karena kunjungan dan silaturrahim itu sama dengan perbuatan menyenangkan hati dan perbuatan berbakti kepada kedua orangtua, sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
قال الله تعالى :َوالِذيَن َيِصُلوَن َمااَمَر الله ُِبِه اْن ُيوَصَلَ وَيْخَشْوَنَ ربُهْم َوَيَخاُفوَنُسوَء اْلِحَساِب . سورة الرعد : ٢١
Allah berfirman : “Dan orang-orang yang menyambungkan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, dan takut kepada Tuhan mereka dan takut kepada buruknya perhitungan amal”. Arra’du : 21.
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ : أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. أخرجه أحمد 3/247 (13620) والبُخَارِي 3/73 (2067) ومسلم 8/8(6615).
Dari Ibn Syihab, berkata : Aku diberi khabar oleh Anas bin Malik, bahwa Rasululloh SAW bersabda : “Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka supaya silaturrahim”. HR Ahmad 3/247 (13620), Bukhari 3/73 (2067), dan Muslim 8/8 (6615).
Pada perkembangan selanjutnya budaya ziarah atau kunjungan dan silaturrahim pada hari raya iedul fitri dilakukan oleh kaum muslimin secara turun temurun sehingga menjadi pengamalan agama yang dibudayakan, dan hal itu merupakan proses membumikan Islam di bumi Nusantara sehingga bisa disebut Islam Nusantara.
Budaya silaturrahim pada hari iedul fithri itu dilakukan dengan menggunakan adab dan tatakrama sosial yang telah diajarkan dalam syariat Islam seperti mushofahah dan muanaqoh.
A. Mushofahah
Musofahah atau bersalam-salaman disunnahkan bagi kedua orang sesama jenis atau berbeda jenis tetapi memiliki hubungan kemahraman dalam keadaan bertemu sesudah berpisah.
عن عطاء بن عبد الله الخراساني ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تصافحوا يذهب الغل وتهادوا وتحابوا تذهب الشحناء
Dari Atho’ bin Abdillah Al-Khurasany, berkata: Rasululloh SAW bersabda: “Bersalam-salamlah maka hilanglah kebencian yang terpendam. Salinglah beri hadiah dan salinglah mencintai maka hilanglah rasa permusuhan.”
عن أبي إسحاق ، عن البراء ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الا غفر لهما قبل ان يتفرقا
Dari Abi Ishaq, dari Al-Barra’, berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tiada kedua muslim yang bertemu lalu bersalam-salaman kecuali keduanya diampuni dosanya sebelum keduanya berpisah.”
B. Muanaqoh
Muanaqoh atau berrangkulan dalam sebuah pertemuan setelah lama berpisah itu hukumnya sunnah (tradisi baik) yang dilakukan oleh Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini:
عن عون بن أبي ُجحيفة عن أبيه وهب بن عبد الله قال : لما قِدم جعفر بن أبي طالب من هجرة الحبشة تلقاه النبي صلى الله عليه وسلم فعانقه وقبل ما بين عينيه
Dari Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya yaitu Wahab bin Abdillah, berkata: “Ketika Ja’far bin Abi Thalib datang dari hijrahnya di Abbesinia maka dia ditemui Nabi SAW, lalu Nabi merangkulnya dan mencium kening antara kedua matanya.”
Muanaqoh atau berrangkulan itu seringkali disertai dengan saling mencium, yang dalam tradisi Nusantara dilakukan dengan cium pipi kanan dan cium pipi kiri (cipika cipiki).
Maka tradisi itu menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkàr disunnahkan dalam dua hal:
- Ketika bertemu setelah lama berpisah seperti menyambut orang yang pulang dari perjalanan jauh.
- Ketika bertemu dengan anak yang masih bayi.
III. Kepustakaan
- Al-Adzkàr karangan Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi.
- Al-Musnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaibani.
- Shahih Al-Bukhari karangan Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.
- Shahih Muslim karangan Imam Muslim bin Al-Hajjaj An-Nìsaburi.
- Ikhbàrul Muhtadin An Akhbàril Mujaddidìn karangan Mohammad Danial Royyan.