Sejak dulu kala sudah diyakini bahwa kerumunan banyak orang itu menjadi penyebab terjadinya penularan penyakit dari satu orang ke orang lain dan terus merembet hingga akhirnya penularan bisa menjadi massif di tengah masyarakat.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah menceritakan bahwa sahabat Nabi SAW bernama Abu Musa Al-Asy’ari RA setelah diangkat oleh Khalifah Umar bin Al-Khatthab sebagai Amir Kota Kufah pernah melarang para tamunya dari kerumunan ketika sudah ada orang yang terkena virus penyakit menular.
عن طارق بن شهاب البجلي قال اتينا ابا موسى وهو في داره بالكوفة لنتحدث عنده فلما جلسنا قال “لا تحفوا، فقد اصيب في الدار انسان بهذا السقم، لا عليكم ان تتنزهوا عن هذه القرية فتخرجوا في فسيح بلادكم ونزهها حتى يرفع هذا البلاء. فاني ساخبركم بما يكره مما يتقى” (البداية والنهاية [٧٦:٧])
Dari Thariq bin Syihab Al-Bajali, dia berkata: Kami bertamu ke rumah Abu Musa, dia sedang di rumahnya di Kufah untuk untuk berbincang-bincang dengannya. Ketika kami sudah duduk, dia berkata: “Jangan berkerumun, di rumah ini ada orang yang positif terkena penyakit virus ini. Tidak apalah kaliah meninggalkan desa ini, lalu kalian pindah ke kawasan negeri yang lapang dan bersih, sampai bencana ini hilang. Nanti aku kabari apa yang tidak baik karena termasuk sesuatu yang harus dihindari” (Al-Bidayah Wa An-Nihayah [7:76]).
Jadi, ‘larangan kerumunan’ itu telah menjadi kebijakan sejak para pemimpin di era sahabat Nabi SAW dan kemudian berlanjut menjadi kebijakan para pemimpin di era paska sahabat hingga sekarang. Dan tak satupun pemimpin yang mengingkarinya, maka hal seperti itu dianggap sebagai ‘Ijmak’ yang menjadi salah satu sumber hukum.
Wallohu A’lamu Bis-Showabi.