A. Pertanyaan
Pada masa pendemi virus covid-19 yang semakin banyak memaparkan korban sakit atau mati seperti sekarang ini, pemerintah pusat membuat keputusan PPKM Darurat yang berdampak terhadap penutupan masjid pada saat jama’ah shalat lima waktu dan jama’ah jum’ah di hari jum’at.
Maka bagaimana hukumnya mengosongkan masjid dan meliburkan jum’ah serta menggantinya dengan shalat dhuhur di rumah masing-masing warga ?
B. Jawaban
Menutup masjid dan meliburkan jum’ah serta menggantinya dengan shalat dhuhur di rumah secara sementara, tidak secara permanen dengan alasan untuk menyelamatkan jiwa manusia dari penularan virus covid-19 yang disebabkan kerumunan banyak orang hukumnya diperbolehkan. Hal itu sesuai dengan kewajiban menjaga keselamatan jiwa manusia (حفظ النفس) sebagai salah satu tujuan agama yang jumlahnya ada lima (مقاصد الشرع الخمسة).
Ketika pada zaman Nabi SAW dulu, kondisi tanah di Madinah becek karena hujan deras, Nabi SAW memerintahkan kaum muslimin penduduk Madinah supaya melakukan shalat di rumah. Bahkan shighat adzan ditambahi dengan kalimat: صلوا في بيوتكم (shalatlah di rumah kalian). Dalam hadits riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, Nabi SAW menmerintahkan muadzin untuk mengucapkan صلوا في رحالكم (shalatlah di rumah kalian). Perintah Nabi SAW tersebut ditujukan untuk kasih sayang kepada kaum muslimin (رحمة للمسلمين).
Pada suatu hari ketika jalan penuh dengan air dan lumpur akibat hujan, Ibnu Abbas RA memerintahkan muadzin untuk mengucapkan lafadz صلوا في رحالكم sebagai pengganti حي على الصلاة, sehingga ahli Madinah melaksanakan shalat dhuhur di rumah masing-masing.
Jika dalam kondisi hujan dan tanah becek saja boleh meninggalkan jama’ah shalat jum’ah. Apalagi dalam kondisi pandemi virus Covid-19 seperti sekarang ini yang bahaya dan kesulitan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kondisi tanah berlumpur dan becek. Jadi, dalil “Qiyas” yang digunakan dalam masalah ini sangatlah kuat karena termasuk katagori “Qiyas Aulawi” (قياس اولوي) yaitu mengqiyaskan (mempersamakan) hal yang lebih tinggi dengan hal yang lebih rendah.
Mengenai kondisi wabah, Nabi SAW pun pernah mengajarkan agar kita menghindari tempat-tempat yang di dalamnya terjadi wabah sebagai berikut:
“إذا سمعتم به بأرض فلا تدخلوا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا منها فرارًا منه” (متفق عليه)
Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat dan kalian berada di tempat itu, maka janganlah kalian meninggalkannya (HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan sekarang ini semua negara di dunia ini sudah terkena pandemi virus covid-29, maka sudah seharusnya kita menghindari semua tempat yang bisa menjadi sumber penularan virus dan kita hendaknya diam di rumah kita.
C. Referensi:
١. أَنَّ ابن عمر رضي الله عنهما نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.
1. Bahwa Ibnu Umar RA pernah adzan untuk shalat di malam yang dingin, anginnya kencang dan hujan, dia mengucapkan di akhir adzan: “Alaa shallu fi rihaalikum, alaa shallu fir rihaal (ingat, shalatlah di rumah kalian, shalatlah di rumah kalian)”. Lalu ia berkata: “Sungguh Rasulullah SAW memerintahkan muadzin ketika pada malam yang dingin atau ada hujan dalam bepergian untuk mengucapkan alaa shallu fi rihalikum” (HR Muslim).
٢. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
2. Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata kepada muadzinnya pada hari hujan: “Bila kau sudah membaca ‘Asyhadu an lā ilāha illallāhu, asyhadu anna muhammadan rasūlullāh,’ jangan kau teruskan dengan ucapan ‘hayya ‘alas shalāh,’ tetapi ucapkanlah ‘shallū fi buyūtikum’’. Orang-orang seolah mengingkari perintah Ibnu Abbas RA. Ia lalu mengatakan: “Apakah kalian heran dengan masalah ini? Padahal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sungguh Jumat itu wajib, tetapi aku tidak ingin menyulitkanmu sehingga kamu berjalan di tanah lumpur dan tanah licin” (HR Muslim).
٣. قياس الأولوية أو مفهوم الموافقة: وهو عبارة عن كون اقتضاء الجامع للحكم في الفرع أقوى وآكد منه في الأصل، كما في النهي الوارد في كتاب الله عن التأفّف من الوالدين “ولا تقل لهما أُفٍّ” (سورة الإسراء: 23.)، القاضي بتحريم ضربهما وشتمهما وتوجيه الأهانة إليهما الذي هو أشدّ إهانة من التأفّف (راجع أصول الفقه 3 : 202 وراجع الأصول العامة للفقه المقارن/ 317)
ومنه دلالة الاذن بسكنى الدار على جواز التصرف بمرافقها بطريق أولى، وهذا يقال له في عرف الفقهاء (اذن الفحوى) ومنه الآية الكريمة “ومن يعمل مثقال ذرة خيرا يره” الدال بالأولوية على ثبوت الجزاء على عمل الخير الكثير
قد يقال: إن القياس المنصوص العلة وقياس الأولوية، هما من باب الأخذ بالظواهر، لأن العلة إذا كانت عامة ينقلب موضوع الحكم من كونه خاصا بالمعلَّل (الأصل) إلى كون موضوعه كلّ ما فيه العلّة. وكذا الأمر في قياس الأولوية حيث يفهم من النصّ الوارد في حرمة التأفف التعدّي إلى كل ما هو أولى في علّة الحكم
Wallohu A’lamu Bisshowàb.