Oleh : H. Mohammad Danial Royan, Rois Syuriah PCNU Kendal
I. PENGERTIAN SALAF
Kosakata “Salaf” secara bahasa memiliki makna golongan orang-orang terdahulu. Kebalikannya adalah “Kholaf” yang artinya golongan orang-orang yang datang belakangan. Salaf secara istilah memiliki makna golongan orang-orang yang berada pada tiga angkatan: sahabat Nabi SAW, tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, sesuai sabda Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan melalui sahabat Ibn Mas’ud RA, sebagaimana berikut:
روي عن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يجيئ أقوام تسبق شهادة أحدهم يمينه ويمينه شهادته (رواه الشيخان)
Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud RA, bahwa dia berkata: Rosulullah SAW berkata : “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang seangkatanku (Sahabat), kemudian orang-orang yang sesudah mereka (Tabi’in), kemudian orang-orang yang sesudah mereka (Tabi’it Tabi’in). kemudian datanglah kaum-kaum yang kesaksian salah satu mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya” (Diriwiyatkan oleh Bukhori-Muslim).
Tiga angkatan (Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in) dianggap sebagai angkatan terbaik dari seluruh ummat Islam, karena mereka mencerminkan mata rantai yang berdekatan dan bersambung dengan baginda Muhammad SAW sebagai pusaran kenabian dan muara kerasulan.
Angkatan Pertama adalah Sahabat Nabi SAW karena pikiran dan hati mereka yang jernih dan suci bersinggungan langsung dengan cahaya kenabian, belum terkontaminasi oleh unsur-unsur pemikiran non-Islam yang melahirkan perilaku penyimpangan atau penyelewengan agama yang kemudian disebut bid’ah dan khurafat. Mereka adalah panutan ummat sesudah Nabi SAW, sehingga Nabi SAW mewajibkan ummat untuk mengikuti para sahabat, dan Nabi SAW mengharamkan pencacian terhadap mereka. Angkatan para sahabat ini terkadang disebut Al-Qarnul Awwal atau As-Shadrul Awwal.
Angkatan Kedua adalah Tabi’in karena mereka terlimpahi oleh cahaya kenabian melalui para sahabat yang berinteraksi dengan mereka, sebagaimana Nabi SAW berinteraksi dengan para sahabat.
Angkatan Ketiga adalah Tabi’it Tabi’in karena mereka menerima ilmu dari tabi’in dalam keadaan murni dan jernih belum tercampuri unsur-unsur infiltratif, seperti kultur dan budaya non-Islam yang masuk ke dalam budaya Islam. Mereka merupakan angkatan kemurnian yang terakhir, karena pada saat itu belum muncul bid’ah yang mewabah di tengah-tengah ummat Islam. Ketiga angkatan ummat di atas disebut “Salaf” atau “As-Salaf As-Shalih”.
Sesudah tiga angkatan di atas, angin bid’ah dan penyimpangan ajaran Islam meniup dengan kencang, dan situasi demikian terus meningkat pada setiap periode, sesuai dengan hadits berikut :
روي عن أنس بن مالك رضي الله عنه أنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا يأتى عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه (رواه الشيخان)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa dia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Tidak akan datang suatu zaman atas kamu kecuali zaman sesudah itu lebih buruk darinya.
II. PENGERTIAN SALAFI DAN SALAFIYYAH
Nisbat mudzakkar kepada Salaf berbunyi “Salafi”. Sedangkan nisbat muannats berbunyi “Salafiyyah”. Bisa juga Ta’ Marbuthah (ة) pada lafadz itu merupakan penanda jamak sehingga maknanya sama dengan “Salafiyyuun”, sama dengan perbandingan antara “Shufiyyah” dan “Shufiyyuun”. Salafi adalah manhaj ulama salaf dalam pemahaman agama. Salafiyyah adalah thariqah atau cara yang ditempuh ulama Salaf dalam pengamalan Islam. Salafiyyah juga berarti golongan orang banyak yang mengikuti thariqah ulama salaf. Karena “Salaf” itu identik dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka golongan yang merasa dirinya sebagai pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti golongan Asy’ariyyah” dan “Maturidiyyah” sering menyebut dirinya sebagai orang yang salafi atau golongan salafiyyah. Jadi, salafi atau salafiyyah adalah manhaj dan thariqah atau cara pengamalan Islam sesuai dengan ulama salaf, bukan sebuah madzhab dalam Islam. Sebab menurut Syekh Muhammad Said Ramadlan Al-Buthi, ulama Ahlissunnah dari Turki, jika salafi atau salafiyyah dianggap sebagai madzhab maka hal itu termasuk bid’ah yang menyimpang dari Islam[1].
Kaum muslimin di Indonesia yang menjadi penganut Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dengan menjadi warga NU sering menyebut dirinya sebagai salafi atau salafiyah. Banyak pondok pesantren yang disebut “Al Ma’had As-Salafi”. KH. As’ad Syamsul Arifin di Situbondo Jawa Timur mendirikan pondok pesantren yang dinamai “Salafiyyah Syafi’iyyah”. Hadratul Mukarram KH. Chudlori Tegalrejo Magelang mendirikan P4SK (Persatuan Pengasuh Pondok Pesantren Se-Kedu). SK yang semula kepanjangan dari “Se-Kedu” diubah menjadi “Salafiyyah Kaffah”, mengingat pengikut P4SK sudah melebar hampir keseluruh wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
III. AWAL PENGGUNAAN SALAFI DAN SALAFIYYAH OLEH KAUM WAHABI
Istilah salafi dan salafiyyah ini telah digunakan sejak abad pertengahan oleh golongan Ahlissunnah Wal Jama’ah yaitu golongan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah sebagaimana tadi telah diuraikan. Akan tetapi oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani (ahli hadits kaum Wahabi) dan diikuti oleh semua penganutnya, dua kalimat ini dianggap madzhab bagi pengikut aliran Islam Sunni yang terkait dengan Wahhabi. Menurut Syekh Muhammad Said Ramdlan Al-Buthi, bahwa pertamakali muncul ikon Salafi sebagai madzhab yaitu pada zaman munculnya pembaharuan Islam yang dikomandoi oleh Jamaluddin Al-Afghani dan muridnya yang bernama Muhammad Abduh[2].
Tentu saja sikap itu meng-copy paste terhadap sikap Ibnu Taimiyyah yang menganggap dirinya sebagai salafi karena merasa memiliki konsistensi dalam mengikuti jejak Imam Ahmad bin Hanbal RA, sebagai tokoh salaf yang anti bid’ah yang diciptakan oleh Mu’tazilah seperti Ilmu Kalam dan juga anti Takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-Qur’an, karena dianggap sebagai penyimpangan dari maksud Al-Qur’an.
Sedangkan Imam Al-Asy’ari, setelah menulis Al-Ibanah dan Maqalat Al-Islamiyyiin, yang di dalamnya mengaku sebagai penganut Imam Ahmad bin Hanbal, dia menulis kitab yang menerangkan tentang kalam seperti kitab Istihsanul Khaudli Fil Kalam, Al-Luma’ dan yang lain. Di dalam kitab-kitab tersebut Imam Al-Asy’ari merumuskan aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah dengan menggunakan rumusan argumentatif sebagaimana pemikiran kalam kaum Mu’tazilah.
Langkah Imam Al-Asy’ari dalam menulis kitab tentang kalam ternyata diikuti oleh para pengikutnya seperti :
- Imam Al-Baqillani yang menulis kitab Hidayatul Mustarsyidin.
- Imam Al-Haramain menulis kitab Luma’ul Adillah
-
Imam Al-Ghazali menulis kitab Al-Iqtishad Fil-I’tiqad, Al-Qisthas Al-Mustaqim dan yang lain, bahkan menulis kitab tentang filsafat seperti Maqashidul Falasifah dan Tahafutul Falasifah.
- Imam Ar-Razi menulis kitab Nihayatul Uqul, dan menulis kitab tentang filsafat seperti Lubabul Isyarat Syarah Tanbihi Isyarat. Disamping itu, mereka juga menggunakan pentakwilan ketika menghadapi ayat-ayat Mutasyabihat, tidak seperti sikap Imam Ahmad bin Hanbal, yang menolak untuk melakukannya.
Kenyataan ini membuat Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya yang merasa memiliki konsistensi dalam mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal, menuduh Asy’ariyah (Imam Asy’ari dan para imam pengikutnya) sudah menyimpang dari ajaran ulama salaf. Sebab, Imam Ahmad bin Hanbal sangat mengecam Ilmu Kalam dan pentakwilan terhadap al-Qur’an, sementara Asy’ariyyah malah melakkukannya. Peristiwa inilah yang membuat Ibn Taimiyah dan pengikutnya, termasuk Kaum Wahabi, menamakan dirinya sebagai pengikut “Madzhab Salafi”. Dan mereka menganggap bahwa Asy’ariyah bukan pengikut salaf dan bukan Ahlissunnah Wal Jamaah.
IV. BANTAHAN TERHADAPA IBN TAIMIYYAH DAN WAHABI
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa angkatan terakhir adalah angkatan Imam Ahmad bin Hanbal RA dan kawan-kawan. Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan sikap kukuhnya dalam menentang Ilmu Kalam dan Takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Akan tetapi beberapa ulama salaf, seperti Imam Harits Al-Muhasibi, Imam Ibn Sa’id Al-Kilabi, Imam Abul Abbas Al-Qalànisi dan sebagainya juga sudah menggunakan ilmu Kalam dan melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Dan usaha mereka yang kedua inilah kemudian dilanjutkan oleh Imam Al-Asy’ari, dan rumusan-rumusannya di kemudian hari disebut Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imam As-Syihristani yang berkata[3]: “Ulama Salaf yang tidak mau melakukan Takwil dan tidak berpendirian kepada Tasybih, di antara mereka adalah: Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Sufyan As-Tsauri, Dawud bin Ali Al-Ashfihani dan para pengikutnya. Sehingga periode salaf itu sampai kepada angkatan Abdullah bin Sa’id Al-Kilabi, Abil Abbas Al-Qalànisi dan Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi. Mereka ini termasuk Ulama Salaf. Akan tetapi, mereka menggunakan Kalam dan merumuskan aqidah Salaf dengan argumentasi-argumentasi ilmu Kalam. Sebagian dari mereka menulis kitab, dan sebagian lagi melakukan pengkajian ilmu Kalam. Oleh karena itu, setelah munadharah antara Al-Asy’ari dan gurunya (Al-Juba’i) tentang masalah Shalàh (kepatutan) dan Ashlah (kepatutan yang lebih) dan Al-Asy’ari mengalahkan gurunya, maka Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah dan kembali memihak Ulama Salaf. Lalu Al-Asy’ari mendukung aqidah mereka dengan metoda Kalam, dan pendangan-pandangannya itu menjadi madzhab Ahlissunnah Wal Jama’ah”.
Ketika itu pemikiran umat Islam berkembang pesat sehingga banyak kaum ahli bid’ah yang menyebarkan bid’ahnya dengan menulis kitab-kitab yang menggunakan ilmu kalam. Untuk menangkis serangan inilah (golongan Qadariyah, Jahmiyyah, Jabariyyah dan golongan lain), maka Imam Al-Asy’ari dan imam-imam yang menjadi pengikut setianya, mempertahankan aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah dengan menggunakan ilmu kalam.
Dengan demikian mereka telah melakukan jihad atau pembelaan terhadap agama dan aqidah kaum muslimin dari pengaruh ajaran yang disebarkan oleh sekte-sekte tersebut di atas. Sebagaimana kita ketahui bahwa jihad tidak hanya berperang di medan laga, tetapi ada dua : jihad dengan perdebatan (Kalam), dan jihad dengan pedang (Qital). Oleh karena itu, ilmu kalam dapat dijadikan sebagai senjata dalam jihad menegakkan Islam.
Sebagaimana pada kasus ilmu kalam, dalam pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh Asy’ari adalah untuk memurnikan tauhid dari faham Tasybih (mempersamakan Allah dengan makhluk) dan Tajsim (menganggap Allah memiliki jisim). Sebab kedua faham tersebut pada hakikatnya tidak sesuai dengan faham Ahlussannah Wal Jama’ah. Sedangkan Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal) yang anti pentakwilan terhadap ayat mutasyabihat malah terjebak kedalam faham Tajsim dan Tasybih, sehingga mereka disebut “Hasyawiyah”. Contoh anti pentakwilan itu seperti ayat al-Qur’an yang berbunyi : يد الله diartikan : tangan Allah, atau Allah memiliki tangan seperti manusia memiliki tangan, tidak diartikan kekuasaan Allah. Lafadz أصبعين من أصابع الرحمن Didalam hadits diartikan dua jari dari jari-jari Allah sebagaimana manusia berjari, tidak diartikan kehendak Allah. Pemahaman seperti ini disebut tajsim. Dan lafadz إن الله ينزل ألى السماء الدنيا Didalam hadits diartikan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia sebagaimana manusia turun, tidak diartikan sesungguhnya rahmat Allah turun ke langit dunia. Pemahaman seperti ini disebut Tasybih.
Pada zaman Imam Izzuddin bin Abdissalam yaitu sebelum Ibn Taimiyyah lahir, terdapat kelompok penganut madzhab Hanbali yang disebut Hasyawiyah yaitu kelompok Musyabbihat yang anti pentakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dan menganggap bahwa Al-Qur’an itu terdiri dari rangkaian huruf-huruf yang baru, bukan qadim. Mereka menentang madzhab Imam Asy’ari dan Asy’ariyyah yang mentakwilkan Al-Qur’an dan mengkafirkan mereka.
Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata tentang kelompok ini[4]: “Al-Hasyawiyah, kelompok yang mempersamakan Allah dengan makhluk-Nya itu, ada dua kelompok :
- Kelompok yang terang-terangan memiliki pendapat Tasybih
- Kelompok yang menutupi diri (berkedok) dengan madzhab Salaf demi kepentingan matrialistik.
Padahal madzhab Salaf yang sebenarnya adalah Tauhid dan Tanzih (tidak mempersamakan Allah), bukan Tasybih dan Tajsim. Memang banyak kelompok ahli bid’ah mengaku sebagai pengikut Salaf. Dan tidak mungkin Ulama Salaf memiliki I’tikad Tajsim dan Tasybih. Selanjutnya Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata[5]: “Sesungguhnya Syafi’iyyah (para pengikut madzhab Syafi’i), Malikiyyah (para pengikut madzhab Maliki), Hanafiyyah (para pengikut madzhab Hanafi), dan ulama pilihan dari Hanabilah (para pengikut madzhab Hanbali) adalah pengikut faham Asy’ari”.
Dari uraian Imam Izzuddin tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa kaum Hasyawiyah adalah bukan “ulama pilihan” dari Hanabilah. Ulama pilihan dari Hanabilah telah mengikuti madzhab Asy’ari dalam masalah aqidah karena pengaruh dari Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, seorang shufi besar yang bermadzhab Hanbali dalam fiqh dan bermadzhab Asy’ari dalam aqidah.
Prof. Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni[6] menerangkan Hasyawiyah sebagai berikut : “Mereka adalah sekelompok orang yang berpegang pada dhahir dari nash, sehingga mereka terjerumus dalam faham-faham yang menyimpang, seperti Tajsim. Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tekstual dan mengatakan makna tekstual itulah yang dikehendaki Allah SWT. Jadi, jika dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT memiliki tangan dan wajah, berarti Allah itu memang memiliki tangan dan wajah, seperti manusia”. Demikian juga halnya dengan Ibnu Taimiyyah dan kaum Wahabi, mereka dengan anti kalam dan anti takwil terjerumus ke dalam faham Tajsim dan Tasybih. Sedangkan ulama salaf mengikuti faham Tanzih yang bertentangan dengan kedua faham itu. Di samping itu mereka juga berlebih-lebihan di dalam membenci kaum penentang, sehingga mereka terjebak ke dalam faham takfir sebagaimana kaum Hasyawiyah. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa faham Wahabi berasal dari faham Hasyawiyah.
Jika ulama pada zaman dulu seperti Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan sebagainya mengecam Wahabi, maka banyak ulama pada zaman sekarang yang juga mengecam Wahhabi. Di antara mereka adalah :
- Prof. Dr. Syekh Ali Jum’ah, mufti mesir mengatakan bahwa Wahabi Salafi adalah gerakan militan dan ahli teror.
- Prof. Dr. Syekh Ahmad Thayyib, Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa Wahabi tidak pantas menyebut dirinya salafi karena mereka tidak berpijak pada manhaj salaf.
- Prof. Dr. Syekh Yusuf Qardawi, intelektual Islam produktif dan ahli fiqh terkenal asal Mesir, mengatakan bahwa Wahabi adalah gerakan fanatik buta yang menganggap dirinya paling benar tanpa salah dan menganggap yang lain selalu salah tanpa ada kebenaran sedikitpun. Gerakan Wahabi di Ghaza lebih suka memerangi dan membunuh sesama muslim daripada membunuh orang-orang Yahudi.
- Prof. Dr. Syekh Wahbah Az-Zuhayli, mufti Suriah dan ahli fiqh produktif, menulis magnum opus ensiklopedia fiqh setebal 14 jilid berjudul Mausu’atul Fiqhi al-Islami. Az-Zuhayli mengatakan bahwa Wahabi adalah orang-orang yang suka mengkafirkan mayoritas muslim selain dirinya sendiri.
- Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, ketua PBNU, mengatakan dalam berbagai kesempatan melalui artikel yang ditulisnya, wawancara dan seminar bahwa terorisme modern berakar dari ideologi Wahabi.
V. KESIMPULAN
Dengan uraian yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa :
- Salaf adalah ummat Islam yang terdiri dari sahabat Nabi SAW, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in atau ulama sejak sahabat sampai sekitar tahun 300 Hijriyah
- Salafi adalah manhaj ulama salaf dalam pemahaman Islam dan salafi bukanlah madzhab.
- Salafiyah adalah thariqah atau methoda pengamalan agama Islam sesuai ajaran ulama salaf. Dan salafiyyah dapat diartikan sebagai golongan orang banyak yang mengikuti ulama salaf.
- Dalam hal aqidah yang menyangkut sifat-sifat Allah, ulama salaf menggunakan faham Tanzih, dan mereka menghindari Tabdi’ dan Takfir terhadap ahlil qiblah yang mengucapkan kalimah tauhid dan melakukan shalat, puasa, zakat dan haji.
- Tasybih, Tajsim, Tabdi’, Takfir yang selama ini menjadi faham golongan yang menamakan diri sebagai “Golongan Salafi” sangatlah bertentangan dengan ajaran ulama salaf.
- Kaum muslimin pengikut Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi, termasuk pengikut jam’iyyah Nahdlatul Ulama dapat dianggap sebagai pengikut ulama salaf atau disebut salafiyah, dan manhajnya bisa disebut salafi.
- Radikalisme dan terorisme adalah gerakan yang lahir dari ajaran kaum Wahabi yang bersifat fundamentalistik.
- Image bahwa Wahabi identik dengan Salafi meskipun salah tetapi sudah terlanjur menjadi opini publik di kalangan masyarakat luas.
- Sebaiknya kata “salafi” atau “salafiyah” yang digunakan oleh pengikut madzhab Asy’ariyyah dipertegas dengan menggunakan qayyid pembeda di belakangnya, seperti “Salafiyah Syafi’iyah” atau “Salafiyah Asy’ariyah” atau “Salafiyah Nahdliyah” dan sebagainya.
VI. REFERENSI
- Al-Buthi, Prof. Dr. Muhammad Said Ramdlan, As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami, Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, Beirut, Libanon.
- Al-Ghazali, Hujjatul Islam Abu Hamid, Ihya Ulumiddin, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon.
- Al-Hafni, Prof. Dr. Abdul Mun’im, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Madzhab, Partai, dan Gerakan Islam Seluruh Dunia, Pustaka Ilmu, Jakarta.
- As-Syihristani, Syekh Abdul Karim, Al Milal Wan-Nihal, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon.
- Al-Zabidi, Sayyid Muhammad Murtadla, Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin Bi Syarhi Ihya Ulumiddin, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Libanon.
- Awies, Manshur Muhammad, Ibn Taimiyah Laisa Salafiyyah, Dar An-Nahdlah Al-Arabiyah, Beirut, Libanon, tahun 1970.
- Dahlan, Sayyid Ahmad Zaini, Ad-Durar As-Saniyyah Fi Ar-Radd Ala Al-Wahhabiyah, Dar Ihya Al-Kutub Al-Ilmiyah, Surabaya.
- Royyan, Mohammad Danial, Ikhbarul Muhtadin an Akhbaril Mujaddidin, Majlis Tashwirul Afkar Lil Buhuts Al-Ilmiyah, Kendal, tahun 2010
[1] Lihat As-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah La Madzhab Islami hal 228-230
[2] Op. Cit. hal 231-232
[3] Al-Milal Wan-Nihal hal 93
[4] Ikhbrul Muhtadin An Akhbaril Mujaddidin hal 327
[5] Ithafus Sadah Al-Muttaqin Juz II hal 9
[6] Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Madzhab, Partai dan Gerakan Islam Seluruh Dunia hal 289